Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (HR Ibnu Majah:244)

Jumat, 13 Maret 2015

Menjadikan Hafalan Al-Quran sebagai Mahar

Mahar secara bahasa artinya mas kawin, yaitu sesuatu yang diserahkan suami kepada istrinya dalam akad nikah. Sedangkan secara istilah, mahar artinya,
أنه العوض في النكاح سواء سمي في العقد أو فرض بعده ، بتراضيهما أو الحاكم
“barang yang diserahkan dalam pernikahan, baik disebutkan dalam akad atau diwajibkan setelahnya, dengan keridhaan kedua mempelai atau keridhaan hakim”

 

Disyariatkannya mahar dalam pernikahan

Mahar hukumnya wajib dalam pernikahan, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
dan datangkanlah sedekah untuk para istri sebagai nihlah (mahar)” (QS. An Nisa: 4).
Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
أيُّما امرأةٍ نُكحتْ بغيرِ إذنَ وليّها ، فنكاحُها باطلٌ ، فنكاحُها باطلٌ ، فنكاحُها باطلٌ ، فإن دخلَ بها ، فلهَا المهْرُ بما استحلّ من فرجِها
wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. Jika si lelaki masuk kepada si wanita, maka si wanita berhak meneriman mahar atas apa yang telah dihalalkan padanya, yaitu farji-nya” (HR. At Tirmidzi 1102, ia berkata: “hasan”)
Syaikh Abdul Azhim Al Badawi mengatakan: “maka mahar adalah hak istri yang wajib dipenuhi suami. Dan mahar adalah harta milik istri, tidak halal bagi siapa saja, baik ayahnya atau orang lain, untuk mengambil darinya sedikitpun. Kecuali jika si wanita merelakan jika mahar tersebut diambil” (Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 282).

Apa yang dimaksud menjadikan hafalan Al Qur’an sebagai mahar?

Mahar itu berupa sesuatu yang memiliki manfaat bagi istri. Syaikh Abdullah Alu Bassam menjelaskan, “Dibolehkan semua bentuk mahar yang mengandung manfaat (bagi istri). Seperti mengajarkan Al Qur’an, mengajarkan fikih, mengajarkan adab, mengajarkan membuat sesuatu, mengajarkan atau lainnya yang memiliki manfaat” (Taisirul Allam, 440).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menikahkan sahabatnya dengan wanita, yang sahabatnya ini tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
pergilah dan aku akan menikahkanmu dengan apa yang ada padamu dari Al Qur’an” (HR. Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Namun sabda Nabi بما معك من القرآن (apa yang ada padamu dari Al Qur’an) memiliki dua tafsiran di antara para ulama. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani:
قَالَ عِيَاضٌ يَحْتَمِلُ قَوْلُهُ بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وَجْهَيْنِ أَظْهَرُهُمَا أَنْ يُعَلِّمَهَا مَا مَعَهُ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ مِقْدَارًا مُعَيَّنًا مِنْهُ وَيَكُونُ ذَلِكَ صَدَاقَهَا وَقَدْ جَاءَ هَذَا التَّفْسِيرُ عَنْ مَالِكٍ وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُهُ فِي بَعْضِ طُرُقِهِ الصَّحِيحَةِ فَعَلَّمَهَا مِنَ الْقُرْآنِ كَمَا تَقَدَّمَ وَعَيَّنَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ مِقْدَارَ مَا يُعَلِّمُهَا وَهُوَ عِشْرُونَ آيَةً وَيَحْتَمِلُ أَنْ تَكُونَ الْبَاءُ بِمَعْنَى اللَّامِ أَيْ لِأَجَلِ مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ فَأَكْرَمَهُ بِأَنْ زَوَّجَهُ الْمَرْأَةَ بِلَا مَهْرٍ لِأَجْلِ كَوْنِهِ حَافِظًا لِلْقُرْآنِ أَوْ لِبَعْضِهِ
“Al Qadhi ‘Iyadh membawa sabda Nabi ‘apa yang ada padamu dari Al Qur’an‘ kepada dua tafsiran:
  1. Tafsiran yang lebih tepat, yaitu ‘apa yang bisa kamu ajarkan dari Al Qur’an atau kadar tertentu dari Al Qur’an dan menjadikan pengajaran tersebut sebagai mahar‘. Tafsiran ini disebutkan juga oleh Malik, dan dikuatkan juga oleh sebagian jalan yang shahih dari riwayat ini. Maka sang suami wajib mengajarkan Al Qur’an sebagaimana sudah dijelaskan. Dan dalam hadits Abu Hurairah disebutkan secara spesifik kadar ayat yang diajarkan, yaitu 20 ayat.
  2. Tafsiran yang memaknai huruf ba’ di sini dengan makna lam, sehingga maknanya ‘karena sebab apa yang ada padamu dari Al Qur’an, maka hafalan tersebut membuatmu mulia dan layak menikahi istrimu tanpa mahar. Karena si suami adalah seorang penghafal Al Qur’an atau menghafal sebagiannya‘” (Fathul Baari, 9/212)
Maka, yang lebih tepat, yang dimaksud menjadikan hafalan Al Qur’an sebagai mahar adalah sang suami mengajarkan hafalan Al Qur’an kepada istrinya, bukan sekedar membacakannya. Ibnu Bathal mengatakan:
يدل أنه يجوز أن يكون تعليم القرآن وسورة منه مهرًا؛ لأن تعليم القرآن يصح أخذ الأجرة عليه، فجاز أن يكون صداقًا
“hadits tersebut menunjukkan bolehnya mengajarkan Al Qur’an dan surat-suratnya sebagai mahar. Karena mengajarkan Al Qur’an itu boleh diambil upah darinya, maka boleh dijadikan mahar” (Syarah Shahih Bukhari, 7/267).
Imam Malik bin Anas juga menjelaskan,
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِي الَّذِي أَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْكِحَ بِمَا مَعَهُ مِنَ الْقُرْآنِ أَنَّ ذَلِكَ فِي أُجْرَتِهِ عَلَى تَعْلِيمِهَا مَا مَعَهُ
“dari Malik bin Anas, mengenai perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang menikahkan dengan apa yang ada pada diri sahabatnya dari Al Qur’an, maksudnya karena dalam dirinya ada nilai upah dalam mengajarkan Al Qur’an kepada istrinya” (dinukil dari Al Istidzkar, 21/120).
Selain itu karena mahar berupa pengajaran Al Qur’an memiliki nilai manfaat. Sedangkan mahar itu harus memiliki nilai manfaat sebagaimana penjelasan Syaikh Abdullah Alu Bassam di atas.

Hukum menjadikan hafalan Al Qur’an sebagai mahar

Sebagian orang menjadikan hafalan Al Qur’an sebagai mahar dalam pernikahan. Bagaimana pandangan syariat mengenai hal ini?
Dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dijelaskan:
“para fuqaha berbeda pendapat mengenai bolehnya menjadikan hafalan Qur’an sebagai mahar untuk wanita. Yang masyhur dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah serta salah satu pendapat Imam Ahmad mengatakan tidak bolehnya menjadikan hafalan Qur’an sebagai mahar untuk wanita. Karena farji tidak bisa dihalalkan kecuali dengan benda yang berupa harta. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
‏وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An Nisa: 24).
Dan karena hafalan Al Qur’an itu tidak boleh digunakan pemiliknya kecuali untuk ber-taqarrub. Adapun ulama Syafi’iyyah, dan sebagian pendapat Malikiyyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad membolehkan menjadikan hafalan Qur’an sebagai mahar untuk wanita. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menikahkan seorang sahabat dengan seorang sahabiyah dengan mahar ilmu Al Qur’an yang ada pada diri sahabat tersebut. Yaitu sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
أملكناكها بما معك من القرآن
aku nikahkan engkau dengan dia, dengan apa yang ada para dirimu dari Al Qur’an
Kemudian ulama yang membolehkan hal ini, mereka bersepakat bahwa harus menyebutkan secara spesifik ayat apa yang dihafalkan. Karena surat dan ayat itu berbeda-beda. Dan mereka juga sepakat mewajibkan sang suami untuk mengajarkan sang istri hafalan ayat dan surat yang disepakati tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah disyaratkan menyebutkan secara spesifik jenis qira’ah yang akan diajarkan kepada sang istri. Jumhur ulama syafi’iyyah dan juga salah satu pendapat dari ulama Hanabilah, mengatakan tidak disyarakat hal tersebut. Karena setiap qiraah yang ada itu bisa menempati posisi dari qiraah yang lain. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun tidak menyebutkan secara spesifik qiraah tertentu” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 17/325).
Yang rajih, boleh menjadikan pengajaran Al Qur’an sebagai mahar. Syaikh Abdullah Alu Bassam mengatakan: “sebagian ulama melarang menjadikan pengajaran Al Qur’an sebagai mahar karena menganggap hal tersebut hanya khusus berlaku pada sahabat Nabi yang ada dalam hadits tersebut. Atau menakwilkannya bahwa Nabi menikahkannya karena sahabat tersebut termasuk ahlul Qur’an. Namun pendapat ini tidak tepat, karena asalnya hukum itu berlaku umum. Dan terdapat riwayat lain dengan lafadz ‘maka ajarkanlah ia Al Qur’an‘” (Taisirul Allam, 440).

Yang lebih utama adalah mahar berupa harta walau sedikit

Terlepas dari khilaf boleh-tidaknya mahar berupa pengajaran hafalan Qur’an, yang lebih baik adalah mahar berupa harta, karena lebih sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nisa ayat 24. Selama si lelaki masih memiliki harta yang bisa dijadikan mahar walaupun sedikit.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya oleh seorang wanita, “bolehkah saya meminta mahar berupa Al Qur’an Al Karim? Tujuannya agar saya bisa tetap memilikinya di akhirat. Karena setiap bacaan hurufnya bernilai 10 kebaikan. Maksud saya, saya ingin mahar saya tersebut menjadi simpanan akhirat, bukan simpanan dunia. Dan juga saya ingin mahar saya ringan dan mudah”.
Syaikh menjawab, “yang disyariatkan adalah mahar berupa harta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم
mencari isteri-isteri dengan hartamu‘ (QS. An Nisa: 24)
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika datang seorang wanita yang ingin menawarkan diri kepada beliau, beliau tidak menerimanya. Namun beliau ingin menikahkan wanita tersebut dengan salah seorang diantara para sahabatnya. Kemudian beliau bersabda kepada sahabat tersebut:
التمس ولو خاتم من حديد
carilah mas kawin walaupun hanya cincin besi
Maka yang disyariatkan adalah mahar berupa harta walaupun sedikit. Jika si suami miskin, dan ia tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar, maka pendapat yang benar, boleh baginya untuk menikahi wanita dengan mahar berupa pengajaran ayat-ayat Al Qur’an. Atau pengajaran surat-surat dalam Al Qur’an. Sehingga ia menjadikan ayat-ayat dan surat-surat tersebut sebagai mahar bagi si wanita. Ini tidak mengapa. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menikahkan seorang wanita yang ingin menawarkan diri kepada beliau dengan salah satu sahabatnya dengan mas kawin berupa pengajaran Al Qur’an demikian dan demikian. Ini semua tidak mengapa.
Namun selama masih memiliki harta, maka harta lebih diutamakan walaupun sedikit. Dan setelah itu, baru diajarkan Al Qur’an. Jika ia mau, ia bisa mengajarkan Al Qur’an kepada istrinya sesuai yang mudah baginya. Ini termasuk bab pergaulan yang baik kepada istri, yaitu dengan mengajarkannya agama dan membimbingnya. Dan suami saling belajar dengan istri dalam kebaikan, ini adalah bahasan yang lain. Allah Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
dan pergaulilah mereka dengan ma’ruf” (QS. An Nisa: 19)
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
dan mereka berhak mendapatkan apa yang layak bagi mereka berupa perkara yang ma’ruf‘ (QS. Al Baqarah: 228)
Jika seorang lelaki dalam mempergauli istrinya ia mengajarkan Al Qur’an, mengajarkan As Sunnah, mengajarkan hukum-hukum Al Qur’an maka ini adalah kebaikan yang banyak. Namun hendaknya jangan mencukupkan mahar dengan hal ini, kecuali ada kebutuhan atau karena tidak adanya harta” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/12431).
Wabillahi at taufiq was sadaad
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar