Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (HR Ibnu Majah:244)

Senin, 01 September 2014

Tukang Becak pun Bisa Berhaji

Judul Asli: Si Miskin Naik Haji

Siapa yang tidak kenal dengan Pak Muslim. Semua orang di kampung Kebon Kopi kenal dengan Pak Muslim. Dia terkenal sebagai seorang tukang becak yang sealu murah senyum. Sudah puluhan tahun dia menjalani profesinya itu. Tidak seperti kebanyakan tukang becak yang lain, Pak Muslim tidak pernah sekalipun meninggalkan shalat wajib, ia pun gemar melaksanakan shalat Tahajud dan shalat Dhuha.

Pak Muslim memiliki lima orang anak, anaknya yang paling besar sudah menginjak bangku SMA. Pak Muslim sangat senang karena dapat menyekolahkan semua anak-anaknya walaupun ia hanyalah seorang tukang becak.

Pak Muslim pulang dari masjid usai shalat subuh bersama-sama dengan istrinya, berjalan beriringan seperti biasa. Kelima anak-anaknya sudah mendahului mereka pulang ke rumah.

“Bu, Bapak tuh sudah semakin tua.”

“Iya. Ibu tahu pak. Ibu juga sudah semakin tua. Anak-anak juga sudah pada besar.”

“Bapak senang anak-anak kita soleh dan solehah.”

“Ya, Pak.”

“Sejak dulu Bapak pendam saja impian ini, Bu.”

“Apa itu, Pak?”

“Bapak ingin sekali naik haji bu.”

Mendengar omongan suaminya, Bu Muslim hanya tertawa kecil. Bukan tertawa untuk melecehkan suaminya, tetapi tertawa karena itu adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi, pikirnya. Hampir semua orang Islam ingin sekali naik haji, namun hanya beberapa saja yang beruntung, karena untuk sampai ke tanah Mekkah dari Indonesia membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi untuk Pak Muslim yang hanya seorang tukang becak, bisa makan dan menyekolahkan anak-anak saja rasanya bersyukur sekali.

“Bapak serius, Bu.”

“Ibu, tahu Pak. Tapi…”

“Bapak akan menabung dari sekarang. Sekarang keempat anak-anak kita bisa bersekolah dengan gratis, kita hanya memikirkan biaya anak sulung kita saja. Jadi Bapak putuskan mulai sekarang Bapak akan menabung untuk naik haji.”

Ibu menarik napas panjang, “Sejak dulu pun kita sudah menabung, Pak. Tapi tabungan kita tidak pernah penuh, sebab selalu saja ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi, akhirnya tabungan pun terpakai terus.”

“Bapak harus pakai cara lain, Bu.”

“Apa Bapak mau menabung di bank? Jangan Pak, nanti malah habis buat biaya administrasi karena saking kecilnya tabungan kita.”

“Bukan di bank, Bu.”

“Trus dimana, Pak.”

Pak Muslim hanya tersenyum kecil tetapi pasti. Ya, Pak Muslim sudah membulatkan tekadnya. Sekarang hari Jum’at, ia akan melaksanakan niatnya sekarang juga.

“Kok, malah senyum-senyum, Pak. Memangnya dimana Bapak mau menabung?”

“Ibu tenang saja. Nanti juga Bapak akan cerita.”

“Cerita sekarang saja, Pak.bikin ibu penasaran saja.”

“Nanti saja, Bu. Nanti juga ibu tahu sendiri.”

“Ya, sudah. Bapak memang sukannya bikin ibu penasaran. Yang penting uang tabungannya jangan hilang ya, Pak.”

“Jangan khawatir, Bu. Bapak jamin uang tabungannya tidak akan pernah hilang.”

“Bapak yakin sekali toh, Pak. Biasanya Bapak selalu memakai kata Insya Allah, begitu, Pak.”

“Bapak yakin karena Bapak menabung langsung kepada Allah. Ups…” Bapak menupup mulutnya, “Wah keceplosan.”

“Apa maksudnya toh Pak?” ibu malah mengerutkan keningnya.

“Kita lihat saja nanti, Bu.”

Bu Muslim tidak menanyakan lebih jauh tentang rencana suaminya itu karena mereka sudah tiba di rumah. Yang Bu Muslim pikirkan sekarang adalah hari ini Bu Muslim akan memasak sayur asam, ikan asin dan sambal terasi. Makanan sederhana yang tak asing lagi bagi keluarga Pak Muslim.

Pak Muslim dengan langkah pasti mendorong becaknya keluar halaman rumah sebelum akhirnya mengayuh becak tersebut. Ia harus yakin dan optimis bahwa rencananya pasti akan berhasil. Yakinlah pada Allah. Karena Allah itu sebagaimana prasangka hambanya. Kalau kita yakin bahwa Allah akan mengabulkan do’a kita maka pasti Insya Allah, Allah akan mengabulkannya.

Kata-kata Ustadz Amin lah yang menguatkan hatinya akan rencananya tersebut. Dan Pak Muslim akan menabung agar bisa naik haji setiap hari Jum’at. Tak seorang pun yang tahu dimana Pak Muslim menabungkannya.

------------------------------------

“Loh kok, tidak mau dibayar. Bapak ini bagaimana sih. Buat apa narik becak kalau tidak mau dibayar.”

Dengan tetap tersenyum Pak Muslim berkata, “Ini untuk tabungan saya naik haji.”

“Ya, sudah.” Jawab penumpangnya sambil melengos pergi. “Aneh-aneh saja bapak itu, sudah gila kali. Hari gini,gitu loh. Masih ada orang yang kayak gitu.” Batinnya.

Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Kini hampir semua orang di kampung Kebon Kopi tahu dengan kebiasaan Pak Muslim yang selalu menarik becak secara gratis setiap hari Jum’at. Banyak sekali orang-orang yang bersimpati pada Pak Muslim, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan memikirkan untuk menolong Pak Muslim, lah mereka sendiri saja pengen naik haji nggak kesampaian, yang ada tiap bulan harus pusing mikirin bayar kreditan ataupun utang di bank.

Fiuh… hidup lagi susah. Malah banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup ataupun hanya untuk menjaga gengsi. Tapi yang dilakukan Pak Muslim justru tidak pernah terpikirkan oleh siapapun diantara mereka.

Ada yang kasihan pada Pak Muslim, ada pula yang senang karena setiap hari Jum’at mereka dapat naik becak Pak Muslim secara gratis, terutama anak-anak sekolah yang dengan senang hati naik becak Pak Muslim, padahal kalau hari-hari biasa mereka jarang sekali naik becak. Tapi Pak Muslim dengan senang hati mengayuh becak tersebut walaupun tanpa bayaran sepeser pun setiap hari Jum’at.

Ia yakin semakin banyak mengayuh maka semakin banyak tabungannya. Dan setiap hari Jum’at banyak sekali penumpangnya tidak sebanyak pada hari-hari biasa. Tetapi hal tersebut justru membuatnya bertambah senang.

Lain dengan Bu Muslim yang justru tidak senang dengan kebiasaan suaminya itu.

“Coba dipikir-pikir lagi, Pak. Masak menabung untuk naik haji dengan cara seperti itu.”

“Loh, ibu itu gimana. Justru Bapak sudah memikirkannya masak-masak, Bu.”

“Masak iya sih, Pak.”

“Ibu, ini.” Pak Muslim geleng-geleng kepala, “Kita harus yakin kepada Allah, Bu. Karena Allah itu akan seperti prasangka hambanya. Kalau kita berprasangka baik kepada Allah maka Allah akan seperti itu, tapi kalau sebaliknya maka yang terjadipun akan sebaliknya, Bu.”

“Ya sudah, kalau begitu, Pak. Ibu do’a kan semoga cepat naik haji.”

Bukan Cuma Bu Muslim, anak-anak Pak Muslim pun tidak setuju dengan apa yang Pak Muslim lakukan. Apa lagi yang sulung, dia malu dengan teman-temannya yang sudah memandang bapaknya layaknya orang edan. Fiuh… jaman sekarang kalau orang baik-baik dibilang edan. Orang edan beneran (yang doyan makan uang rakyat) lalu disebut apa?

----------------------------------
Entah sudah berapa tahu Pak Muslim melakukan kebiasaannya itu. Bu Muslim sendiri bahkan sudah melupakan kebiasaan suaminya itu. Orang lain pun sudah tidak ambil pusing lagi dengan kebiasaan Pak Muslim itu. Dan Pak Muslim tetap yakin dengan caranya itu. Kalau pun ada penumpang yang memaksa untuk membayar Pak Muslim pasti akan menolaknya setiap hari Jum’at, apapun yang terjadi.

Seperti hari Jum’at kali ini ada seorang bapak yang memaksa untuk membayar Pak Muslim setelah ia menaiki becaknya.

“Loh, kenapa tidak mau dibayar, Pak.”

“Ini untuk tabungan saya naik haji, Pak.”

“Memang bapak sudah daftar?”

“Belum.”

“Ya, sudah kalau begitu. Besok temui saya disini, di depan hotel ini, jam tujuh pagi.”

“Baik, Pak.”

Tidak ada yang menyangka bahwa penumpang Pak Muslim kali ini adalah seorang yang kaya raya yang kebetulan sedang singgah di daerah itu untuk urusan bisnis dan sebenarnya orang tersebut tidak pernah naik becak sekalipun dan ketika urusan bisnisnya selesai ia ingin merasakan bagaimana rasanya naik becak, dan terkejut sekali bahwa si tukang becak tersebut justru tidak mau dibayar. Dan lebih terkejut lagi adalah dengan alasan si tukang becak itu. Maka bapak tersebut memutuskan untuk membiayai semua biaya naik haji untuk si tukang becak tersebut, yang tidak lain adalah Pak Muslim. Subhanallah…

---------------------------
Bu Muslim menangis tersedu-sedu, anak-anaknya pun terlihat sedih, bukan sedih karena mereka benar-benar sedih, namun itu semua adalah ungkapan keharuan atas Pak Muslim. Bukan hanya mereka, orang-orang yang mengetahui akan kebiasaan Pak Muslim pun merasa sangat terharu, terutama orang-orang yang selama ini mencemooh kebiasaan Pak Muslim tersebut.

Banyak pula yang merasa tidak percaya dengan kenyataan ini. Namun mereka kini dapat melihat bahwa sebentar lagi Pak Muslim akan naik haji. Dan mereka tahu bahwa selama ini Pak Muslim tidak menabung dengan sia-sia. Kini tabungan Pak Muslim sudah cukup untuk bisa ke tanah suci.

sumber: www.tempatwisatamu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar