Kita dapat membagi pembahasan ini menjadi tiga topik bahasan: [1] Darah haidh, [2] Darah manusia, dan [3] Darah hewan yang halal dimakan.
[1] Darah Haid
Untuk darah haidh sudah dijelaskan bahwa darah tersebut adalah darah yang najis. Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.” [1]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[2] Hal ini pun telah disepakati oleh para ulama.[3]
[2] Darah manusia
Untuk darah manusia, mengenai najisnya terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama madzhab menganggapnya najis. Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al An’am: 145). Para ulama tersebut menyatakan bahwa karena dalam ayat ini disebut darah itu haram, maka konsekuensinya darah itu najis.
Namun ulama lainnya semacam Asy Syaukani[4] dan muridnya Shidiq Hasan Khon[5], Syaikh Al Albani[6] dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahumullah menyatakan bahwa darah itu suci. Alasan bahwa darah itu suci sebagai berikut.
Pertama: Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menyatakannya najis. Dan tidak diketahui jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membersihkan darah selain pada darah haidh. Padahal manusia tatkala itu sering mendapatkan luka yang berlumuran darah. Seandainya darah itu najis tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk membersihkannya.[7]
Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaukani rahimahullah[8].
Ketiga: Para sahabat dulu sering melakukan shalat dalam keadaan luka yang berlumuran darah. Mereka pun shalat dalam keadaan luka tanpa ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membersihkan darah-darah tersebut.
Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang menceritakan seorang Anshor. Ketika itu ia sedang shalat malam, kemudian orang-orang musyrik memanahnya. Ia pun mencabut panah tadi dan membuangnya. Kemudian ia dipanah sampai ketiga kalinya. Namun ketika itu ia masih terus ruku’ dan sujud padahal ia dalam shalatnya berlumuran darah.[9]
Ketika membawakan riwayat ini, Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan, “Riwayat ini dihukumi marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sangat mustahil kalau hal ini tidak diperhatikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya darah yang amat banyak itu menjadi pembatal shalat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini telah kita ketahui bersama dalam ilmu ushul.”[10]
Juga ada beberapa riwayat lainnya yang mendukung hal ini. Al Hasan Al Bashri mengatakan,
مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ
“Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka.”[11]
Dalam Muwatho’ disebutkan mengenai sebuah riwayat dari Miswar bin Makhromah, ia menceritakan bahwa ia pernah menemui ‘Umar bin Al Khottob pada malam hari saat ‘Umar ditusuk. Ketika tiba waktu Shubuh, ia pun membangunkan ‘Umar untuk shalat Shubuh. ‘Umar mengatakan,
وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu ‘Umar shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir.[12]
Hal ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat dalam masalah ini, darah manusia itu suci baik sedikit maupun banyak. Namun kita tetap menghormati pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa darah itu najis. Wallahu a’lam bish showab.
[3] Darah dari hewan yang halal dimakan
Darah dari hewan yang halal dimakan di sini seperti darah hasil sembelihan kambing, unta atau sapi. Pembahasan darah jenis ini sama dengan pembahasan darah manusia di atas, yaitu sebenarnya tidak ada dalil yang menyatakan bahwa darah tersebut najis. Maka kita kembali ke hukum asal bahwa segala sesuatu itu suci.
Ada riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan bahwa darah dari hewan yang halal dimakan itu suci. Riwayat tersebut,
صَلَّى بْنُ مَسْعُوْدٍ وَعَلَى بَطْنِهِ فَرْثٌ وَدَمٌّ مِن جَزْرِ نَحْرِهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Ibnu Mas’ud pernah shalat dan di bawah perutnya terdapat kotoran (hewan ternak) dan terdapat darah unta yang disembelih, namun beliau tidak mengulangi wudhunya.”[13]
Ada pula riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di sisi Ka’bah. Sedangkan Abu Jahl dan sahabat-sahabatnya sedang duduk-duduk ketika itu. Sebagian mereka mengatakan pada yang lainnya, “Coba kalian pergi ke tempat penyembelihan si fulan”. Lalu Abu Jahl mendapati kotoran hewan, darah sembelihan dan sisa-sisa lainnya, kemudian ia perlahan-lahan meletakkannya pada pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sujud. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kesulitan dalam shalatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, Abu Jahl kembali meletakkan kotoran dan darah tadi di antara pundaknya. Beliau tetap sujud, sedangkan Abu Jahl dan sahabatnya dalam keadaan tertawa.”[14]
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun darah selain darah haidh, maka dalil yang menjelaskan mengenai hal ini beraneka ragam dan mengalami keguncangan. Sikap yang benar adalah kembali ke hukum asal segala sesuatu itu suci sampai ada dalil khusus yang lebih kuat atau sama kuatnya yang menyatakan bahwa darah itu najis.”[15]
Demikian pembahasan kami mengenai darah apakah najis ataukah tidak. Masalah ini adalah masalah yang masih ada ruang ijtihad sehingga kami pun menghargai pendapat lainnya. Nantikan pembahasan kami selanjutnya mengenai najisnya khomr. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 5 Rabi’ul Awwal 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[2] Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/77.
[4] Lihat Ad Daroril Madhiyah, hal. 27
[5] Lihat Ar Roudhotun Nadhiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/30, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[6] Lihat Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 51-52, Al Maktabah Al Islamiyah, cetakan ketiga, tahun 1409 H.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/78.
[8] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, hal. 29
[9] Riwayat ini dikeluarkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan menyambungkan sanadnya dan hadits ini dikeluarkan pula oleh Abu Daud.
[10] Tamamul Minnah, hal. 51.
[11] Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dalam kitab shahihnya .
[12] Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatho’nya (2/54).
[13] Mushonnaf ‘Abdur Rozaq (1/125)
[14] HR. Bukhari no. 240 dan Muslim no. 1794.
[15] Ad Daroril Madhiyah, hal. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar