Sesungguhnya tidak tersamar bagi seorang muslim yang hidup di muka bumi saat ini, apa yang sedang diderita ummat Islam berupa kelemahan, kekacauan di setiap aspek kehidupannya, baik aspek politik maupun ekonomi dan dalam bidang-bidang yang lainnya. Dan orang-orang yang selalu berusaha berbuat kebaikan sudah sejak lama telah memperingatkan akan kelemahan ini. Maka mereka mulai berusaha menganalisa dan membatasi persoalan tersebut, terutama penyembuhan dan pemberantasannya sampai ke akar-akarnya.
Namun sayang, jalan-jalan yang mereka tempuh bercerai-berai, ketika menentukan obatnya dan ketika berusaha menghilangkan penyakit sampai ke akar-akarnya. Hal ini disebabkan oleh beraneka ragamnya manhaj-manhaj mereka dan bermacam-macamnya firqah dan aliran mereka.
Tidak diragukan lagi, bahwa yang menimpa kaum muslimin tersebut tiada lain disebabkan oleh jauhnya mereka dari agamanya. Dan tenggelamnya mereka ke dalam nafsu syahwat yang diharamkan. Karena permasalahannya seperti itu dan memang demikian adanya, sesungguhnya Rasulullah telah menjelaskan kepada kita penyakit tersebut dan telah memberitahukan pula apa obatnya serta tidak meninggalkan peluang -bagi orang yang masih punya akal- untuk munculnya perselisihan dan pertentangan.
Al-Imam Abu Daud telah mengeluarkan dalam Sunan-nya (3/740) dan lainnya, dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda, yang artinya:
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah (riba) dan kalian telah memegang ekor-ekor sapi (kiasan untuk kekuasaan yang zhalim), serta kalian lebih cinta (ridha) kepada pertanian (dunia) dan kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kerendahan, tidak akan dicabut kerendahan itu sampai kalian mau kembali kepada agama kalian”.
Maka satu-satunya jalan keluar dari kerendahan dan kehinaan ini adalah dengan kembali kepada syari’at Allah Ta’ala, beramal dengannya. Dan hal ini telah disaksikan oleh Al-Qur`an di banyak tempat.
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertaqwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur`an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (Al-Ma`idah:65-66).
Begitu jelas dan gamblang permasalahan ini. Ternyata masih ada manusia yang menisbatkan diri mereka kepada “dakwah”, namun berpaling dari ketundukan kepada ketentuan yang terang benderang ini. Mereka lebih menyukai pemecahan masalah dengan yang dihasilkan oleh akal-akal mereka yang dangkal dan pendapat mereka yang tidak laku (hina). Kemudian mereka mencari perbaikan keadaan kaum muslimin dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan tidak pula oleh Rasulullah. Hasil dari usaha yang mereka lakukan itu tiada lain adalah kerugian. Akhir langkah mereka adalah bencana. Allah Ta’ala tidak akan memperbaiki perbuatan orang-orang yang berbuat kerusakan.
Di hadapan langkah yang mereka lakukan, ada para pengemban dakwah yang tersebar di atas bendera sunnah yang suci dan petunjuk nabawi. Mereka memperhatikan “sunnah-sunnah” dan bersemangat untuk mempraktekkannya dalam segala hal. [Perlu diperhatikan di sini, bahwa yang dimaksudkan dengan "sunnah" pada kalimat ini dan setelahnya adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat jasmani dan rohani atau riwayat sejarah kehidupannya setelah kenabian dan terkadang masuk juga sebagian perkara sebelum kenabian; atau secara singkatnya "sunnah" adalah jalan dan petunjuk Nabi, baik menyangkut 'aqidah, amalan, akhlaq atau sifat jasmani dan rohani beliau; atau "sunnah" adalah syari'at Islam itu sendiri yang mencakup Al-Qur`an dan Al-Hadits; "sunnah" adalah bukan seperti yang difahami kebanyakan orang yang mengartikan sunnah sebagai sesuatu yang selain wajib, berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa bila ditinggalkan].
Kesimpulan dan inti dari permasalahan di atas adalah wajibnya mementingkan sunnah yang tsabit dari Rasulullah dengan mempelajari, mengajarkan dan mengarahkan kepadanya.
Bahwa bercokolnya kelemahan tersebut -sebagaimana dijelaskan di atas- pada kita, hanyalah datang dari para pemberani yang jauh dari ajaran agama Allah, kewajiban dan sunnahnya. Maka jalan yang benar untuk terlepas dari kelemahan ini adalah kembali kepada agama kita dan bersemangat untuk mengamalkan serta berdakwah kepadanya secara keseluruhan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah:208).
Al-Alusi dalam Tafsirnya (Ruhul Ma’ani II/97) berkata: “Maknanya (ayat tersebut) adalah: “Masuklah kalian ke dalam Islam dengan totalitas kalian dan janganlah kalian tinggalkan sedikitpun dari lahir dan bathin kalian, kecuali Islam sudah memasukinya, sehingga tidak ada tempat untuk selain Islam.”
Semua yang disyari’atkan Allah dalam kitab-Nya serta yang disampaikan Rasul-Nya dalam sunnah-sunnahnya tidak diperkenankan bagi seorangpun untuk menganggapnya kecil dengan alasan apapun, bahkan wajib berpegang teguh dengan Islam secara keseluruhannya. Maka permasalahan yang merupakan kewajiban, haram untuk ditinggalkan dan perkara yang dinyatakan sebagai mandub atau mustahab, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk bersemangat melaksanakannya dan berlomba-lomba dalam kebaikan secara umum.
Maka tiada jalan lain ke arah tersebut (perbaikan kondisi ummat), kecuali jalan ini (mengamalkan sunnah), yang dengannya akan tumbuh generasi sunnah, yang dalam jiwa-jiwanya telah tertanam kecintaan terhadap agama, suatu kecintaan yang akan melemahkan kecintaan pada yang lain, seperti kecintaan terhadap diri sendiri, harta dan anak, sehingga siaplah jiwa-jiwa itu untuk menerima semua kebaikan dan sikap dermawan dengan semua yang dimilikinya untuk menolong agama Allah ini.
Kewajiban Memperhatikan dan Mementingkan Sunnah
Sesungguhnya perkara yang paling pantas untuk dijadikan perhatian oleh seorang muslim dan yang paling utama waktunya dicurahkan di dalamnya ialah beramal di atas petunjuk Nabi dan mewujudkannya di dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan kemampuannya.
Hal itu disebabkan oleh tujuan akhir seorang mukmin adalah mendapatkan hidayah (petunjuk) yang dapat mengantarkannya ke negeri kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Jika kalian mau mentaatinya (Nabi) pasti kalian akan mendapat petunjuk.” (An-Nur:54).
Dan firman-Nya yang lain:
“Dan ikutilah ia agar kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raf:158).
Juga firman-Nya:
“Sungguh pada diri Rasul terdapat suri tauladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap perjumpaan dengan Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab:21).
Dan ayat ini, sebagaimana telah dikatakan oleh Ibnu Katsir adalah pijakan utama dalam meneladani Rasul baik dalam perkataan, perbuatan dan kehidupannya. Keteladanan ini hanya akan dijalani dan dicocoki oleh orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir saja.
Sesungguhnya apa yang ada pada dirinya, berupa: keimanan, rasa takut kepada Allah, harapan mendapat pahala-Nya serta takut akan ‘adzab-Nya, akan mendorongnya meneladani Rasulullah. (Tafsir As-Sa’di 6/209).
Kemuliaan dan kedudukan seorang mukmin hanyalah diukur dengan sikap ittiba’-nya kepada sunnah Rasulullah, semakin tinggi semangatnya terhadap sunnah, semakin tinggi pula derajatnya. Oleh karena itu, para ‘ulama terdahulu dari kalangan salafush-shalih menentukan ukuran bagi orang yang bisa diambil ilmunya -sesuatu yang paling mulia untuk diambil-, adalah dengan seberapa kuat dia memegang sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha`i: “Mereka, para salaf, jika mendatangi seseorang yang akan diambil ilmunya, terlebih dahulu melihat: bagaimana shalatnya, sunnahnya serta tingkah laku dan penampilannya. Setelah itu, baru mereka mengambil ilmunya.”
Di dalam risalah Al-Qusyairiyah (1/75) karya Dzinnun Al-Mashri, dia berkata: “Termasuk tanda bagi seseorang yang mencintai Allah adalah bahwa dia mengikuti kekasih Allah dalam akhlaq, perbuatan dan perintah-perintah serta sunnah-sunnahnya.” Pernyataan ini benar-benar diambil dari Kitabullah. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31).
Berkata Al-Hasan Al-Bashri: “Tanda kecintaan mereka kepada Allah adalah sikap ittiba’ mereka kepada sunnah Rasulullah.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya 2/204, Ath-Thabari 3/232 dan Al-Laalika`’ 1/204)
Para ‘ulama rabbaniyyin di sepanjang masa selalu seragam dan menonjol dalam memberi semangat untuk beramal dengan sunnah sesuai makna yang asli -lihat kembali makna “sunnah” di atas-. Baik dengan pengarahan, pengajaran maupun tulisan-tulisan mereka. Dan dengan keutamaan Allah serta kesungguhan yang tercurah ini, telah menghabiskan waktu dan tenaganya, dihadapinya mara bahaya dengan penuh susah payah. Ditempuhnya jalan yang diliputi kesulitan serta kemudahan, hingga sampailah As-Sunnah kepada kita dalam keadaan terlindungi, terjaga dan terpenuhinya kebutuhan (akan sunnah), agar kita dapat mempelajari, berhubungan serta menyeru kepadanya dengan sepenuh daya upaya yang ada.
Senantiasa di sepanjang masa -dengan memuji Allah dan taufiq serta pertolongan-Nya- ada sekelompok manusia yang mengarahkan perhatian dan kemauannya serta membesarkan anak-anaknya di atas perhatian yang besar terhadap sunnah nabawiyyah. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara yang sedikit ataupun yang seluruhnya diambil, sebagaimana telah digariskan oleh Nabi dengan ketentuan yang syar’i yang tercantum dalam hadits shahih:
“Apabila aku perintah kalian untuk melaksanakan sesuatu, maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah).
Mereka menyeru untuk berpegang kepada sunnah dan selalu berada di atasnya, baik secara keseluruhan maupun terperinci. Dan mereka juga mengingkari orang yang menyimpang dari jalan tersebut, bagaimanapun bentuk penyimpangannya. Merekalah orang-orang yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah Al-Hakim: “Suatu kaum yang menempuh jalan orang-orang shalih serta mengikuti atsar orang salaf yang telah lampau. Mereka kalahkan para ahli bid’ah, orang-orang yang menyimpang dari jalan sunnah Rasulullah. Akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan sunnah dan hati-hati mereka penuh dengan keridhaan dalam segala keadaan. Mempelajari sunnah adalah kesenangan mereka dan majlis-majlis ilmu adalah kesukaan mereka. Dan ahli sunnah tanpa kecuali, adalah saudara-saudara mereka. Dan orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran serta ahli bid’ah seluruhnya adalah musuh-musuh mereka.” (Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hlm. 4)
Akan tetapi, kelompok ini -yang mendapat pertolongan dan keselamatan (firqatun najiyah)- pada setiap masa tidak terlepas dari orang bodoh atau pengikut hawa nafsu yang membuat berbagai macam tipu daya, mencanangkan permusuhan dan melekatkan dengan kedustaan yang sangat besar kepada mereka.
Terkadang mereka mencerca orang yang menjalankan sunnah dengan julukan memecah-belah persatuan kaum muslimin! Demi Allah mereka telah berdusta. Cercaan itu terkadang dalam bentuk umpatan dan celaan kepada orang yang mendalami sunnah nabawiyyah melalui penelitian, penetapan, perbuatan dan dakwah, yaitu -ucapan para penentang sunnah- di bawah kaidah pembagian agama kepada perkara juz`iyyat (cabang) untuk mencela orang yang mendalami masalah ini dan kepada perkara kulliyyat (ushul) untuk mencela orang yang tidak ada perhatian padanya.
Akan tetapi pembagian tadi telah dibantah oleh para ‘ulama baik dahulu ataupun ‘ulama jaman sekarang. Di antara ‘ulama jaman dahulu adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berkata: “Adapun pemisahan antara satu macam penamaan: masalah-masalah ushul dengan macam yang lain dengan penamaan: masalah-masalah furu’, maka ini pemisahan yang tidak ada asalnya, tidak dari para shahabat dan tidak pula dari tabi’in serta tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini tidak lain diadopsi dari kelompok Mu’tazilah dan yang seperti mereka (dari kalangan) ahli bid’ah.” (Al-Masa`il Al-Maaridiniyah hal.788).
Sedangkan dari kalangan ‘ulama sekarang yang membantahnya adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Imam Muhadditsul ‘Ashr (Muhaddits jaman ini) Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Rahimahullahu Ta’ala, dalam pembicaraannya dengan salah seorang anggota Jama’ah Hizbiyyah Islamiyyah. Beliau berkata:
“Yang kami ketahui, bahwa semua da’i-da’i Islam pada saat ini selain yang berintima’ -kepada manhaj salafush shalih- membagi Islam kepada ushul dan furu’ -dan sebagaimana yang telah kami katakan tadi: mereka membagi Islam kepada isi (bagian dalamnya-pent.) dan kulit (bagian luar Islam-pent.).” Jaman sekarang ini merupakan jaman yang di dalamnya terjadi kemelut yang membinasakan kaum muslimin, sehingga mereka semakin dijauhkan dari Islam, sekiranya mereka ingin mendekatinya.
Sekarang -dengan tsaqofah yang anda punyai dan ilmu yang saya miliki-: Tidaklah kita akan mampu untuk membedakan mana yang ushul dan mana yang furu’, kecuali bila yang dimaksud dengan ushul adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ‘aqidah saja dan tidak ada kaitannya dengan perkara hukum. Dengan begitu, amalan shalat yang merupakan rukun kedua tidak masuk dalam masalah ushul, akan tetapi merupakan bagian furu’ atau cabang. Mengapa demikian? Karena ia tidak punya kaitan dengan ‘aqidah secara murni. Pembagian seperti ini sangat membahayakan sekali. Kalau kita anggap benar pembagian ini, yaitu uhsul adalah masalah ‘aqidah yang tidak boleh berselisih tentangnya, siapa yang menyelisihinya berarti kafir sedangkan furu’ adalah masalah hukum, yang setiap orang boleh berselisih di dalamnya. Sekarang kita ambil contoh masalah shalat fardhu -yang menurut mereka termasuk furu’-. Semua kaum muslimin sepakat tentang kewajiban shalat fardhu tersebut dan barangsiapa yang mengingkarinya maka dia telah kufur walaupun hal ini termasuk masalah ahkam, yang tentunya hal ini sangat bertentangan dengan pengertian mereka tentang furu’. Contoh kedua adalah masalah apakah Rasulullah melihat Allah di dunia atau tidak? Ini termasuk perkara ‘aqidah, akan tetapi tidak ada satu ‘ulamapun yang mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Dari dua contoh ini, tampak jelas bathilnya pembagian agama ke dalam uhsul dan furu’.
Untuk itu, aku mengetahui, bahwa sebagian jama’ah dahulu menyerukan untuk mengadopsi (mengambil) Islam secara keseluruhan. Dan ini merupakan dakwah yang benar. Karena Islam sebagaimana datang kepada kita yang wajib kita adopsi (ambil).
Akan tetapi dari sisi amaliyah: mungkin saja seseorang secara individu misalnya, atau kelompok hanya mampu untuk menjalankan satu sisi saja, tapi tidak mampu untuk menjalankan sisi yang lain. Akan tetapi dari segi pemikiran: Al-Islam wajib untuk diadopsi secara total, tidak dibagi-bagi (dipetak-petak) misalnya: fardhu, sunnah, mustahab, mandub,?dan seterusnya. Jangan kita katakan: “Ini hanya perkara mandub tidak ada nilainya, ini mustahab tidak penting?, cukup bagi kita yang fardhu-fardhu saja.” Tidak demikian, kita menyeru kepada Islam secara keseluruhan dan selanjutnya setiap individu mengambil dari apa yang dapat membangkitkan dan yang mampu untuk dilaksanakan.” (lihat kembali tafsir surat Al-Baqarah:208 di atas).
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Nabi, mengamalkannya, berpegang teguh dengannya serta membelanya dari para penentang dan musuh-musuhnya. Amin Ya Mujiibas Saa`iliin. Wallahu a’lamu bish shawaab. {Untuk lebih jelas bisa meruju’ kepada kitab “Dharuuratul Ihtimaam Bis Sunnanin Nabawiyyah” karya Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas Alu ‘Abdil Karim}
[Sumber Buletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-36 Tahun ke-1 / 22 Agustus 2003 M / 23 Jumadits Tsani 1424 H]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar