Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (HR Ibnu Majah:244)

Rabu, 29 September 2010

IKHTHILATH SEBUAH MAKSIAT

Oleh
Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Secara bahasa Ikhtilath berarti percampuran; perubahan ingatan. Tetapi yang dimaksudkan di dalam pembahasan ini adalah Ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya. Sementara itu dari perkataan para ahli ilmu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan Ikhtilath adalah percampuran atau berdesak-desakan antara orang-orang laki-laki dengan para wanita. Di antara perkataan mereka adalah:

1. Ketika Imam Abu Bakar Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusi rahimahullah menyebutkan berbagai macam bid’ah, beliau berkata: “Dan (termasuk bid’ah) keluarnya orang-orang laki-laki bersama-sama atau sendiri-sendiri bersama para wanita dengan berikhtilath”. [Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

2. Kemudian Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi mengomentari ucapan Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas dengan perkataan: “Ini (ikhtilath) terlarang, tidak boleh. Oleh karena itulah penulis memasukkannya (ke dalam bid’ah). Dan dalil-dalil diharamkannya ikhtilath sangat banyak, sebagian (ulama) yang cemburu (terhadap agama) –mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepada mereka- telah mengumpulkan dalil-dalil itu di dalam buku-buku tersendiri. Adapun orang-orang yang tersilaukan oleh pelacuran Barat yang kafir, yang tertipu oleh kesesatan peradaban modern, menurut persangkaan mereka!!!, mereka terombang-ambing di dalam kegelapan-kegelapan mereka, berbuat sembarangan di dalam kebodohan mereka, mencari-cari fatwa-fatwa dari berbagai tempat yang membolehkan ikhtilath semacam ini untuk mereka…padahal ikhtilath itu, demi Allah, merupakan kesesatan yang nyata! Mudah-mudahan mereka berfikir…dan kembali menuju kebenaran”. [Catatan kaki Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu. [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 568, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].

Hadits ini mengisyaratkan bahwa ikhthilath (bercampur-baur) orang-orang laki-laki dengan para wanita di jalan itu adalah dengan berdeasak-desakan atau berjalan bersama-sama, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para wanita agar berjalan di pinggir jalan.

4. Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: "Dan sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf." [Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]

5. Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, seorang ulama dari Yaman) berkata: "Saling berdesakan antara para wanita dengan orang-orang laki-laki, termasuk sebab-sebab (jalan-jalan) fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-Red). Oleh karena itulah Nabi n tetap di tempatnya sebentar (setelah shalat), begitu juga para sahabat yang bersama beliau, sebagaimana di dalam riwayat Bukhari (no:866), sedangkan para wanita langsung berdiri setelah salam. Tetapi di zaman kita telah terjadi ikhtilah pada banyak pekerjaan, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lainnya". [Nashihati Lin Nisa’, hal:120, Darul Haramain, cet:I, th:1421 H – 2000 M].

6. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid juga mengisyaratkan makna ikhtilath ketika beliau menjelaskan beberapa syarat keluarnya wanita menuju masjid. Beliau berkata: “Hendaklah (wanita) tidak berdesakkan dengan orang-orang laki-laki, baik di jalan atau di (masjid) Jami’. [Hirasatul Fadhilah, hal:100, Darul ‘Ashimah, cet:II, th: 1421 – 2000 M]

MACAM-MACAM IKHTILATH DAN HUKUMNYA
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah pernah ditanya: "Bolehkah ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita jika aman dari fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-pen)?".
Beliau menjawab: "Ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita ada tiga keadaan:

1. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki mahram mereka. Ini tidak ada kekaburan tentang bolehnya.

2. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) untuk tujuan kerusakan (maksiat-pen). Ini tidak ada kekaburan tentang haramnya.

3. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) di majlis-majlis ilmu (sekolah; madrasah; dan lain-lain-Red), toko-toko (warung; kedai), perpustakaan-perpustakaan, rumah-sakit-rumah-sakit, pesta-pesta, dan yang semacamnya. Ini pada hakekatnya, penanya kemungkinan menyangka pada pandangan yang pertama bahwa hal ini tidak akan menjadikan mereka saling terfitnah (tergoda untuk berbuat kemaksiatan-pen) dengan yang lain.

Untuk mengetahui hakekat bagian (ke 3) ini, maka kami akan menjawab secara global dan secara terperinci.

Adapun secara global: Bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan kekuatan bagi laki-laki dan naluri tertarik kepada wanita. Demikian juga Allah telah menjadikan naluri wanita tertarik kepada laki-laki bersamaan dengan kelemahan dan kelembutannya. Maka jika terjadi percampuran (antara keduanya) niscaya timbullah dampak-dampak yang menimbulkan tujuan yang buruk, karena sesungguhnya jiwa itu banyak memerintahkan kepada keburukan, dan hawa-nafsu akan membutakan dan menjadikan tuli, serta syaithan akan memerintahkan kekejian dan kemungkaran.

Adapun secara terperinci: Bahwa syari’at itu dibangun di atas al-maqashid (tujuan-tujuan) dan wasa-il (sarana-sarana) nya. Dan sarana yang menghantarkan kepada satu tujuan memiliki hukum yang sama dengan tujuan. Wanita adalah tempat untuk menyalurkan kebutuhan laki-laki, dan Pembuat syari’at telah menutup pintu-pintu yang menghantarkan kepada keterikatan setiap individu dari kedua jenis itu kepada yang lain. Hal itu akan nampak jelas dengan dalil- dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang akan kami paparkan:

DALIL-DALIL DARI ALKITAB
1. Allah Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ اْلأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَاىَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

"Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:"Marilah ke sini". Yusuf berkata:"Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung". [Yusuf:23]

Sisi pengambilan dalil: Yaitu ketika terjadi ikhthilath (percampuran) antara istri Aziz Mesir dengan Nabi Yusuf alaihissallam, muncullah (nafsu) wanita itu, yang dahulunya terpendam, maka dia meminta kepada Nabi Yusuf untuk mencocoki (kemauan) nya. Tetapi beliau mandapatkan rahmat Allah, dan Dia menjaga beliau dari wanita tersebut. Yaitu di dalam firmanNya:

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [(Yusuf: 34].

Maka demikian pula jika terjadi ikhthilath (percampuran) orang-orang laki-laki dengan para wanita, setiap mereka akan memilih pasangan yang dia sukai, dan setelah itu akan berusaha dengan segala cara untuk mendapatkannya.

2. Allah memerintahkan para laki-laki dan para wanita untuk menahan pandangan, Dia berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka". [An-Nur: 30-31]

Sisi pengambilan dalil dua ayat di atas: bahwa Allah memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menahan pandangan, sedangkan perintah Allah menunjukkan wajib, kemudian Allah Ta’ala menjelaskan bahwa itu lebih suci dan lebih bersih. Pembuat syari’at tidak memaafkan (dari pandangan itu) kecuali pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja). Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Al-Mustadrak dari Ali Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

"Wahai Ali, janganlah engkau mengikutkan pandangan (pertama, yang tidak disengaja- pen) dengan pandangan (kedua, yang disengaja-Red), karena sesungguhnya engkau berhak pada pandangan pertama, tetapi tidak berhak pada pandangan yang akhir" [1].

Setelah meriwayatkannya Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim, tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. Adz-Dzahabi menyetujuinya di dalam Talkhisnya. Dan ada banyak hadits yang semakna dengan ini.

Dan tidaklah Allah memerintahkan untuk menahan pandangan kecuali karena memandang orang yang terlarang untuk dipandang merupakan zina (mata- pen). Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا

"Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan dengan seksama, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah menyergap/menangkap, dan kaki zinanya adalah melangkah". [Mutafaq ‘alaih, lafazhnya bagi Muslim]

Memandang adalah zina, karena orang itu bersenang-senang dengan memandang kecantikan wanita, dan hal itu akan membawa wanita itu memasuki hati orang yang memandangnya, sehingga akan terikat di dalam hatinya. Sehingga dia akan berusaha melakukan kekejian (zina) dengannya. Maka jika Pembuat syari’at melarang memandang kepada wanita karena hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakan itu juga akan terjadi di dalam ikhthilath. Oleh karena itulah ikhthilath terlarang, karena merupakan sarana menuju apa yang tidak terpuji akibatnya, yaitu bersenang-senang dengan memandang dan berusaha melakukan apa yang lebih buruk dari itu.

3. Dalil-dalil yang telah disebutkan yaitu bahwa “wanita adalah aurat” [2] dan wajib atasnya untuk menutupi seluruh tubuhnya, karena menampakkan tubuhnya atau sebagiannya menyebabkan untuk dilihat, sedangkan melihatnya akan menyebabkan hati terikat kepada wanita itu, kemudian berbagai cara akan ditempuh untuk mendapatkannya. Demikian juga ikhthilath.

4. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

"Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan". [An-Nur:31]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala mencegah wanita menghentakkan kakinya,-walaupun hal itu pada asalnya boleh- agar jangan menjadi sebab para laki-laki mendengar suara gelang kaki wanita, sehingga akan membangkitkan pendorong-pendorong syahwat laki-laki kepada wanita. Demikian juga ikhthilath dilarang karena bisa membawa kepada kerusakan.

5. Firman Allah Ta’ala:

يَعْلَمُ خَآئِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati". [Al-Ghafir/Al-Mukmin:19]

Ibnu Abbas dan lainnya menafsirkan: "Dia adalah seorang laki-laki yang masuk ke rumah anggota keluarganya, di antara mereka ada seorang wanita yang cantik, -atau ada seorang wanita yang cantik yang melewati mereka-. Jika anggota keluarga itu tidak memperhatikannya, dia memandang wanita tersebut. Jika mereka memperhatikannya, dia menundukkan pandangan matanya dari wanita itu. Jika mereka tidak memperhatikannya, dia memandangnya, jika mereka memperhatikannya, dia menundukkan pandangan matanya. Dan Allah mengetahui hatinya, yaitu bahwa dia ingin melihat kemaluan wanita itu, dan jika mampu menguasai wanita itu, dia akan menzinainya."[3].

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala mensifati mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang, sebagai (mata yang) khianat. Maka bagaimana dengan ikhthilath?

6. Bahwa Allah memerintahkan para wanita untuk menetap di dalam rumah mereka, Dia berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu". [Al-Ahzab:33]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala memerintahkan istri-istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, wanita-wanita yang suci dan disucikan, untuk menetap di dalam rumah-rumah mereka. Dan perkataan Allah ini umum meliputi seluruh wanita muslimin yang lain, berdasarkan apa yang telah tetap di dalam ilmu Ushul (fiqih) bahwa perkataan yang disampaikan itu umum kecuali yang ditunjukkan oleh dalil tentang pengkhususannya. Sedangkan di sini tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususannya. Maka jika para wanita itu diperintahkan untuk menetap di dalam rumah, kecuali jika kebutuhan mengharuskan mereka untuk keluar, kemudian bagaimana dibolehkan ikhthilath seperti yang telah disebutkan di atas? Padahal di zaman ini banyak sikap-sikap wanita yang melewati batas, tidak punya rasa malu, mengikuti hawa-nafsu dengan menampakkan perhiasan dan mempertontonkan wajah di hadapan orang-orang laki-laki asing serta bertelanjang di dekat mereka, dan tidak ada orang yang mencegah, baik oleh suami-suami mereka atau lainnya, terhadap orang yang sudah jauh dalam urusan itu.

ADAPUN DALIL DARI SUNNAH
Kami akan mencukupkan dengan menyebutkan 10 dalil:
1. Imam Ahmad meriwayatkan:

عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

"Dari Ummu Humaid istri Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu 'anhuma, bahwa dia mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersamamu”. Beliau bersabda: “Aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, tetapi shalatmu di dalam rumahmu (yang paling dalam) lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu. Dan shalatmu di dalam kamarmu, lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar). Dan shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar), lebih baik daripada shalatmu di masjid kaum-mu. Dan shalatmu di masjid kaum-mu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku".

Perawi berkata: “Maka Ummu Humaid memerintahkan, lalu dibangunlah masjid (yakni tempat untuk shalat-Red) untuknya di ujung rumah di antara rumah-rumahnya, dan yang paling gelap, demi Allah, dia biasa shalat di sana sampai meninggal.

Dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ صَلَاةِ الْمَرْأَةِ إِلَي اللَّهِ فِي أَشَدِ مَكَانٍ مِنْ بَيْتِهَا ظُلْمَةً

"Sesungguhnya shalat wanita yang paling dicintai oleh Allah adalah (yang dilakukan) di tempat paling gelap di dalam rumahnya".

Ada beberapa hadits yang semakna dengan dua hadits ini yang menunjukkan bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama dari shalatnya di dalam masjid.

Sisi pengambilan dalil: yaitu bahwa jika disyari’atkan bagi wanita untuk shalat di dalam rumahnya, dan bahwa hal itu lebih utama, sampaipun dari shalat di dalam masjid Rasulullah n dan bersama beliau, maka jika ikhthilath itu dilarang, itu termasuk perkara yang lebih utama (untuk dilarang).

2. Apa yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan lainnya, dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

"Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang pertama". [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Hadits Hasan Shahih”].

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah men syari’atkan bagi para wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah (laki-laki).[4]. Kemudian beliau menyebutkan keburukan pada shaf pertama wanita , dan menyebutkan kebaikan pada shaf yang terakhir. Hal itu hanyalah karena jauhnya wanita -wanita pada shaf terakhir dari laki-laki, dari ikhthilath dengan laki-laki, dan dari melihat laki-laki, serta jauh dari terikatnya hati mereka terhadap laki-laki ketika melihat gerakan dan mendengar suara laki-laki. Dan beliau mencela shaf yang pertama karena terjadinya sebalik dari perkara-perkara di atas. Dan beliau menyebutkan keburukan pada shaf laki-laki yang terakhir apabila ada wanita-wanita shalat bersama mereka di dalam masjid, karena mereka tidak mendapatkan tempat depan dan dekat imam, juga karena dekatnya terhadap para wanita yang menyibukkan fikiran, yang bisa jadi merusakkan ibadah, mengacaukan niat dan kekusyu’an. Maka jika Pembuat agama mengantisipasi terjadinya hal itu di dalam tempat-tempat ibadah, padahal itu tidak terjadi ikhthilath, maka terjadinya hal itu jika terjadi ikhthilath tentulah lebih mungkin. Maka dilarangnya ikhthilat itu merupakan hal yang lebih utama.

3. Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Zainab istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami (para wanita):

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا

"Jika salah seorang dari kamu menghadiri masjid, maka janganlah memakai minyak wangi".

Dan Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunannya, Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i di dalam Musnad keduanya, dengan sanad mereka, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

"Janganlah kamu melarang hamba-hamba perempuan Allah (keluar ke) masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai minyak wangi".

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil diharamkannya memakai minyak wangi bagi wanita yang ingin keluar menuju masjid, karena hal itu akan menggerakkan kebutuhan dan syahwat laki-laki, dan kemungkinan juga akan menjadi sebab yang menggerakkan syahwat wanita”. Dia juga berkata: “Dihukumi sama dengan minyak wangi ini apa yang semakna dengannya, seperti (memakai) baju dan perhiasan yang indah yang dampaknya nyata, dan bentuknya yang mewah”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Demikian pula ikhthilath dengan orang-orang laki-laki.” Al-Khathabi berkata di dalam Ma’alimus Sunan: “At-Tafal [5] artinya bau tidak sedap. Dikatakan wanita tafilah, jika dia tidak memakai minyak wangi. Dan dikatakan wanita-wanita tafilaat, (jika mereka tidak memakai minyak wangi).”

4. Usamah bin Zaid meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

"Tidaklah aku tinggalkan fitnah (ujian; yang menyebabkan kesesatan) setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita". [HR. Bukhari dan Muslim]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah n telah menyatakan para wanita sebagai fitnah, maka bagaimana dikumpulkan antara (wanita) yang membuat fitnah dengan (laki-laki) yang terkena sasaran fitnah? Ini tidak boleh.

5. Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

"Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu penguasa di dunia, kemudian Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat, maka berhati-hatilah kamu terhadap dunia, dan berhati-hatilah kamu terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah (kesesatan) pertama kali di kalangan Bani Isra’il dalam perkara wanita". [HR. Muslim]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk berhati-hatilah terhadap wanita, dan perintah beliau itu hukumnya wajib. Maka bagaimana mungkin perintah beliau tersebut dilaksanakan bersamaan dengan (dilakukan) ikhthilath?! Ini tidak boleh.

6. Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya. [Ini lafazh Abu Dawud].

Ibnul Atsir berkata di dalam An-Nihayah Fi Gharibil Hadits: “yuhaqqiqna ath-thariq” maknanya berjalan di haqnya, yaitu di tengahnya.

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu.

7. Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan di dalam Sunannya, dan lainnya, dari Nafi’ , dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma :

أَنُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَنَي الْمَسْجِدَ جَعَلَ بَابًا لِلنِّسَاءِ وَ قَالَ: لاَ يَلِجُ مِنْ هَذَا الْبَابِ مِنَ الرِّجَالُ أَحَدٌ

"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membangun masjid, beliau membuat pintu (khusus) untuk wanita, dan dia berkata: “Tidak boleh seorangpun laki-laki masuk dari pintu ini".

Bukhari telah meriwayatkan di dalam At-Tarikhul Kabir dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma, dari nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تَدْخُلُوْا الْمَسْجِدَ مِنْ بَابٍ النِّسَاءِ

"Janganlah kamu masuk masjid dari pintu wanita".

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath orang-orang laki-laki dan para wanita di pintu-pintu masjid, sewaktu masuk ataupun keluar. Dan beliau mencegah sumber kebersamaan laki-laki dan wanita di pintu-pintu masjid untuk menutup jalan/sarana ikhthilath. Maka jika ikhthilath dilarang dalam keadaan ini, maka terlebih lagi pada keadaan lainnya.

8. Imam Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ (مِنْ صَلاَتِهِ) قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ وَمَكَثَ فِي مَكَانِهِ يَسِيرًا

"Kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika selesai salam dari shalatnya, para wanita bangkit ketika beliau selesai salamnya, sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap di tempatnya sebentar".

Pada riwayat kedua pada Imam Bukhari:

كَانَ يُسَلِّمُ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ فَيَدْخُلْنَ بُيُوتَهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَنْصَرِفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Beliau selesai salam, lalu para wanita berpaling kemudian masuk rumah mereka sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling".

Pada riwayat ketiga:

كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مَنْ صَلَّي مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ

"Kebiasan para wanita ketika selesai salam dari shalat wajib, mereka bangkit, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang laki-laki yang shalat bersama beliau tetap di tempat mereka –masya Allah- . Kemudian apabila Rasulullah n bangkit, orang-orang laki-laki juga bangkit".

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath dengan perbuatan beliau, maka ini merupakan peringatan dilarangnya ikhthilath pada tempat selain ini.

9 dan 10. Ath-Thabarani meriwayatkan di dalam Mu’jamul Kabir dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

َلأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Sungguh jika kepala salah seorang dari kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya".

Al-Haitsami berkata di dalam Majma’uz Zawaid: “Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahih”. Al-Mundziri berkata di dalam At-Targhib Wat Tarhib: “Para perawinya terpercaya”.

Ath-Thabarani juga meriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:

لأَنْ يَزْحَمَ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِخًا بِطِيْنٍ وَ حَمَأَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Sungguh jika seorang laki-laki berdesakkan dengan seekor babi yang berlumuran tanah dan lumpur lebih baik daripada pundaknya berdesakkan dengan pundak wanita yang tidak halal baginya".

Sisi pengambilan dalil dari kedua hadits di atas: bahwa Rasulullah n mencegah persentuhan laki-laki dengan wanita dengan pelapis atau tanpa pelapis jika bukan mahramnya, karena hal itu akan membawa dampak yang buruk. Demikian pula ikhthilath dilarang karena hal itu.

Maka barangsiapa yang memperhatikan dalil-dalil yang telah kami sebutkan niscaya akan jelas baginya bahwa menerima anggapan “ikhthilath itu tidak akan membawa fitnah (kemaksiatan; kesesatan)”, itu hanyalah menurut persepsi sebagian orang saja. Padahal sebenarnya hal itu akan membawa kepada fitnah, oleh karena inilah Pembuat syari’at mencegahnya untuk menutup sumber kerusakan.

Tetapi tidak termasuk ikhthilath yang terlarang, perkara-perkara yang kebutuhan mengharuskannya dan yang sangat diperlukan, dan terjadi di tempat-tempat ibadah, sebagaimana yang terjadi di tanah suci Makkah dan tanah suci Madinah. Kami mohon kepada Allah Ta’ala agar menunjuki kaum muslimin yang tersesat, dan agar menambah petunjuk kepada kaum muslimin yang telah mendapatkan petunjuk, dan agar Dia memberikan taufiq kepada para penguasa kaum muslimin untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, serta membimbing tangan orang-orang yang bodoh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Dekat, dan shalawat Allah mudah-mudahan diberikan kepada Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. (Fatwa no: 118, tanggal: 14-5-1388) [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 561-569, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Hakim. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no:7952- pen
[2]. [HSR. Tirmidzi. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no:6690- pen
[3]. Sebagaimana di dalam Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut, tetapi tanpa perkataan: “dan jika mampu menguasai wanita itu, dia akan menzinainya.”- pen
[4]. Yakni para wanita berbaris di belakang shaf laki-laki; dengan tidak bercampur dengan mereka-pen
[5]. Perkataan dalam hadits di atas yang kami terjemahkan dengan: tidak memakai minyak wangi- pen]

PERKARA-PERKARA YANG TIDAK TERMASUK IKHTHILATH

Oleh
Abu Isma'il Muslim Al-Atsari


Sebelum kami sebutkan perkara-perkara ini, yang hukumnya boleh (mubah), maka perlu diketahui bahwa sesuatu yang boleh/mubah itu tidak harus dikerjakan, juga bukan berarti mustahab (disukai/lebih utama) untuk dikerjakan. Tetapi sekedar boleh untuk dilakukan. Walaupun demikian, jika menimbulkan kerusakan, atau fitnah, atau kemaksiatan, maka haruslah ditinggalkan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dan sebagaimana sebuah kaidah Ushul Fiqih yang berbunyi:

دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْمَنَافِعِ

"Menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan/manfaat".

Maka inilah perkara-perkara tersebut:
1. Wanita mendatangi seorang alim untuk minta fatwa.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي قَالَ وَقَالَ أَبِي ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ *

"Dari A’isyah dia berkata: “Fathimah binti Abu Hubais datang kepada Nabi n lalu berkata: “Saya mengeluarkan darah istihadlah, sehingga saya tidak suci, haruskah aku meninggalkan sholat?” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, itu hanyalah urat/pembuluh darah (yang luka-Red), bukan haid, jika masa haidmu datang maka tinggalkanlah sholat, jika telah usai maka bersihkanlah darah dari badanmu lalu sholatlah” (Seorang perawi berkata) Bapakku berkata (tambahan di dalam riwayatnya tentang sabda Rasulullah itu): “Berwudlu’lah tiap-tiap sholat ketika telah masuk waktunya”. [Al-Bukhari]

2. Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan.

أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى

"Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab: “Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau berdiri sholat delapan reka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha" [HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]

3. Wanita shalat bermakmum kepada laki-laki dengan shaf tersendiri.
Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: “Dan tidaklah larangan ikhthilath itu terbatas antara banyak orang-orang laki-laki dan para wanita saja, namun juga mencakup seorang wanita apabila shalat bersama para laki-laki. (Yaitu jika satu wanita berbaris satu shaf dengan para laki-laki itu termasuk ikhthilath-pen).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

"Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang yatim berdiri di belakang beliau, sedangkan Ummu Sulaim di belakang kami". [HR. Bukhari, no:871, 860]

Sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf. [Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan lainnya, dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

"Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang pertama". [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Hadits Hasan Shahih].

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari’atkan bagi para wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah (laki-laki)".

Maka kenyataan adanya para wanita di zaman Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shalat bersama beliau di masjid, menunjukkan bahwa hal itu bukanlah ikhthilath.

4. Penganten wanita yang melayani para tamu laki-laki, dengan dua syarat: aman dari fitnah dan berpakaian secara Islam.
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: "Tidak mengapa penganten wanita melayani sendiri para (tamu) undangan, apabila dia tertutup (dengan baju yang disyari’atkan-pen) dan aman dari fitnah (perkara yang dapat mendatangkan kemaksiatan/kesesatan), berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d, dia berkata:

لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلاَ قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلاَّ امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ بَلَّتْ (وفي رواية: أنقعت) تَمَرَاتٍ فِي تَوْرٍ مِنْ حِجَارَةٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا فَرَغَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الطَّعَامِ أَمَاثَتْهُ لَهُ فَسَقَتْهُ تُتْحِفُهُ بِذَلِكَ (فَكَانَتْ امْرَأَتُهُ يَوْمَئِذٍ خَادِمُهُمْ وَهِيَ الْعَرُوْسُ)

"Tatkala Abu Usaid As-Sa’idi telah menikah, dia mengundang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, dia tidak membuat makanan untuk mereka, dan tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Akan tetapi istrinya, Ummu Usaid, semenjak malam merendam kurma di dalam bejana dari batu. Maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai makan, Ummu Usaid melarutkannya untuk beliau, lalu memberikan minum kepada beliau dengannya, dia mengkhususkan beliau dengan (minuman) itu. (Maka pada hari itu istrinya yang menjadi pelayan mereka, padahal dia sebagai penganten wanita". [1].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya seorang istri melayani suaminya dan orang yang dia undang, tentu saja hal itu adalah jika aman dari fitnah dan dengan menjaga penutup (tubuh) yang wajib atas wanita. Dan dalil bolehnya seorang suami melayani istrinya dalam hal seperti itu.." [Fathul Bari:IX/251]

5. Dua laki-laki shalih atau lebih menemui seorang wanita, karena keperluan.

عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ نَفَرًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَهِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ لَمْ أَرَ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَرَّأَهَا مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ

"Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu bahwa orang-orang dari Bani Hasyim menemui Asma’ binti ‘Umais, kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk –waktu itu Asma’ adalah istri Abu Bakar-, lalu Abu Bakar melihat mereka, maka dia tidak menyukainya. Kemudian dia menyebutkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata: “Aku tidak melihat kecuali kebaikan”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Setelah hariku ini, janganlah sama sekali seorang laki-laki menemui seorang wanita yang ditingal pergi suaminya kecuali bersamanya ada seorang laki-laki lain atau dua laki-laki". [HSR. Muslim, no:5641]

An-Nawawi rahimahullah berkata di dalam penjelasan hadits ini: “Kemudian bahwa zhahir hadits ini membolehkan menyendirinya dua atau tiga laki-laki dengan seorang wanita asing/bukan mahramnya. Tetapi yang terkenal di kalangan para sahabat kami (yakni madzhab Syafi’iyah-pen) adalah haramnya hal tersebut, kemudian hadits itu diberi arti (untuk) sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat berbuat keji, karena keshalihan atau keperwiraan mereka, atau lainnya. Dan Al-Qadhi telah mengisyaratkan pemberian arti seperti ini.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi memasukkan dua hadits di atas di dalam masalah “Masuknya dua atau tiga laki-laki kepada seorang wanita”. Dan pada catatan kaki beliau berkata: “Jika seorang laki-laki masuk/menemui sekelompok wanita, sedangkan mereka memakai hijab (menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah, karena Syaikh berpendapat wajah wanita harus ditutup-pen) dan jauh kemungkinan bersepakat untuk berbuat keji, dan aman dari fitnah, maka hal itu boleh. Wallahu A’lam”. [Jami’ Ahkamun Nisa’ IV/293]

6. Seorang laki-laki berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati orang, untuk memenuhi keperluan wanita tersebut.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ امْرَأَةً كَانَ فِي عَقْلِهَا شَيْءٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَقَالَ يَا أُمَّ فُلَانٍ انْظُرِي أَيَّ السِّكَكِ شِئْتِ حَتَّى أَقْضِيَ لَكِ حَاجَتَكِ فَخَلَا مَعَهَا فِي بَعْضِ الطُّرُقِ حَتَّى فَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا

"Dari Anas, bahwa seorang wanita yang akalnya tidak begitu beres berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki keperluan kepadamu”. Maka beliau menjawab: “Hai Ummu Fulan, lihatlah jalan mana yang engkau sukai, sehingga aku dapat memenuhi keperluanmu”. Maka beliau berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan sehingga wanita itu menyelesaikan keperluannya". [HSR. Muslim, Al-Bukhari secara ringkas, dan Abu Dawud]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Perkataan “Maka beliau berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan” yaitu berdiri bersamanya di jalan yang dilewati oleh orang, agar beliau dapat memenuhi keperluannya dan memberikan fatwa kepadanya dalam keadaan sendirian/sepi. Dan hal itu tidak termasuk khalwat (menyendiri) dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal ini terjadi di tempat lewatnya orang-orang dan mereka dapat melihat beliau dan wanita tersebut, tetapi mereka tidak mendengar perkataan wanita itu, karena pertanyaan wanita itu, tidak dinampakkan dengan terang oleh beliau, wallahu a’lam”. [Syarh Muslim V/180]

Imam An-Nawawi juga berkata: “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang tawadhu’ beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dengan berdirinya beliau dengan seorang wanita yang lemah. Inilah, dan Imam Al-Bukhari telah memasukkan hadits ini ke dalam bab: Khalwat seorang laki-laki dan wanita yang dibolehkan di hadapan orang-orang”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menjelaskan bab ini: “Yaitu, laki-laki itu tidak menyendiri dengan wanita itu sampi tubuh keduanya tertutup dari (pandangan) mereka, tetapi sekedar mereka tidak mendengar perkataan keduanya, jika hal itu termasuk yang disembunyikan oleh wanita itu, seperti sesuatu yang seorang wanita malu untuk menyebutkannya di antara orang banyak. Dan penyusun (yaitu Imam Al-Bukhari) mengambil perkataan “di hadapan orang-orang” di dalam bab itu dari perkataan pada sebagian jalan-jalan hadits (yaitu): “Maka beliau berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan”, yaitu di jalan yang dilewati, yang pada umumnya tidak sepi dari lewatnya orang-orang.” Kemudian Ibnu Hajar juga berkata: “Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa perundingan seorang wanita asing (dengan seorang laki-laki-pen) secara pelan-pelan tidaklah merusakkan agamanya di saat aman dari fitnah. Akan tetapi urusannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha : “Siapakah di antara kamu yang dapat menguasai syahwatnya sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menguasai syahwatnya”.

7. Wanita mengucapkan salam kepada laki-laki.
Dalilnya hadits Ummu Hani’ yang telah disebutkan di atas, yaitu pada point ke (2). Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan.

أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى

"Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab: “Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau berdiri sholat delapan reka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha" [HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]

8.Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita.

عَنْ سَهْلٍ قَالَ:… فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا

Dari Sahl, dia berkata: "…Maka jika kami telah shalat jum’ah, kami pulang (dan mampir ke rumah seorang wanita tua) dan kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian dia menghidangkan makanan kepada kami." [HSR. Al-Bukhari dan lainnya]

TAMBAHAN
Inilah sebagian di antara perkara-perkara yang tidak termasuk ikhthilath yang terlarang hukumnya.

Dengan keterangan ini, maka definisi ikhthilath di dalam kitab Mas-uliyah Mar’atil Muslimah (hal:22) karya Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah rahimahullah, yaitu bahwa ikhthilath adalah: “Berkumpulnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, atau: berkumpulnya banyak orang laki-laki dengan banyak orang wanita yang mereka itu bukan mahram, di satu tempat, yang memungkinkan padanya untuk berhubungan di antara mereka, dengan cara memandang, berisyarat, dan berbicara, sehingga menyepinya seorang laki-laki dengan seorang wanita asing -yang bukan mahramnya- dalam keadaan bagaimanapun juga dianggap termasuk ikhthilath” belum bisa diterima. Karena kalau yang dimaksud ikhthilath adalah demikian, tentulah perkara-perkara di atas tadi termasuk ikhthilath yang terlarang!

Tetapi hal ini, bukan berarti laki-laki boleh memandang wanita yang bukan mahramnya –atau sebaliknya- tanpa adanya keperluan yang diidzinkan syari’at. Karena larangan tentang memandang ini jelas dari Al-Kitab dab As-Sunnah, sebagaimana sebagiannya telah berlalu di atas.

Inilah sedikit yang kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. HSR. Al-Bukhari di dalam Shahihnya, dan di dalam Al-Adabul Mufrad; Muslim; Abu ‘Awanah; Ibnu Majah; dan lainnya –kami ringkaskan takhrijnya-pen] (Adabuz Zifaf Fis Sunnah Al-Muthahharah, hal:103-106, Maktab Al-Islami, 1409 H- 1989 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar